Gazalba Saleh, hakim agung nonaktif, dijatuhi hukuman 10 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat. Gazalba terbukti menerima gratifikasi dan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Putusan ini dibacakan oleh ketua majelis hakim pada sidang yang berlangsung pada Selasa (15/10/2024).
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Gazalba Saleh dengan pidana penjara selama 10 tahun,” ujar ketua majelis hakim saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Terbukti Menerima Gratifikasi
Gazalba dinyatakan terbukti menerima gratifikasi sebesar Rp 500 juta dari Jawahirul Fuad terkait pengurusan kasasi. Selain itu, ia juga menerima bagian dari Rp 37 miliar yang diberikan oleh pengacara Jaffar Abdul Gafur, Neshawaty, sehubungan dengan penanganan peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh Jaffar.
Dalam putusan tersebut, majelis hakim juga menetapkan bahwa uang gratifikasi tersebut telah disamarkan oleh Gazalba melalui serangkaian tindak pidana pencucian uang. Sebagai konsekuensinya, selain pidana penjara, Gazalba juga dikenakan denda sebesar Rp 500 juta, dengan ketentuan subsider empat bulan kurungan apabila tidak mampu membayar denda tersebut.
Dakwaan dan Pelanggaran Hukum
Gazalba dinyatakan bersalah melanggar Pasal 12 B jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), serta Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP. Dalam amar putusannya, hakim menjelaskan bahwa tindak pidana tersebut dilakukan secara bersama-sama.
Tuntutan Awal: 15 Tahun Penjara
Sebelumnya, Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Gazalba dengan hukuman 15 tahun penjara. Jaksa meyakini bahwa Gazalba secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi serta pencucian uang. Selain hukuman penjara, jaksa juga menuntut Gazalba membayar denda sebesar Rp 1 miliar, dengan ketentuan subsider enam bulan kurungan, dan membayar uang pengganti senilai USD 18 ribu serta Rp 1,588 miliar.
Apabila Gazalba tidak mampu membayar uang pengganti tersebut, jaksa meminta agar harta benda milik terdakwa dapat dirampas dan dilelang untuk menutupi kerugian negara. Jika aset yang disita tidak mencukupi, maka hukuman pidana tambahan berupa kurungan selama dua tahun akan diterapkan.
Detail Gratifikasi dan TPPU
Gazalba Saleh didakwa menerima gratifikasi sejumlah Rp 650 juta, yang di antaranya berasal dari Jawahirul Fuad terkait perkara kasasi nomor 3679 K/PID.SUS-LH/2022. Fuad, pemilik usaha UD Logam Jaya, sebelumnya terlibat kasus hukum karena pengelolaan limbah B3 tanpa izin dan telah divonis satu tahun penjara.
Selain itu, pada tahun 2020, Gazalba juga menerima uang sejumlah Rp 37 miliar saat menangani permohonan peninjauan kembali dari Jaffar Abdul Gafur. Uang tersebut diterima bersama advokat Neshawaty Arsjad.
Berdasarkan dakwaan jaksa, Gazalba menerima berbagai penerimaan lain selama periode 2020-2022, yang meliputi:
- SGD 18 ribu (sekitar Rp 200 juta) sebagai bagian dari total gratifikasi Rp 650 juta.
- SGD 1,128 juta (sekitar Rp 13,3 miliar), USD 181.100 (sekitar Rp 2 miliar), dan Rp 9,4 miliar dalam bentuk mata uang Rupiah.
Total penerimaan yang diduga terkait dengan tindak pidana korupsi dan pencucian uang ini mencapai sekitar Rp 62 miliar.
Modus Pencucian Uang
Gazalba menyamarkan uang tersebut melalui pembelian sejumlah aset, termasuk mobil mewah, penukaran valuta asing, pembelian tanah dan bangunan di Jakarta Selatan, emas, serta pelunasan kredit pemilikan rumah (KPR) milik seorang teman dekat. Total nilai pencucian uang yang dilakukan Gazalba diperkirakan mencapai sekitar Rp 24 miliar.
Kesimpulan
Kasus Gazalba Saleh menyoroti pentingnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap pejabat publik yang terlibat dalam tindak pidana korupsi. Hukuman yang dijatuhkan diharapkan menjadi pelajaran bagi para penegak hukum lainnya untuk tetap menjunjung tinggi integritas dan profesionalisme.