Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil, menyoroti minimnya dana intelijen Kejaksaan Agung (Kejagung) RI yang berdampak pada belum tertangkapnya sejumlah buronan atau DPO (Daftar Pencarian Orang). Hal ini disampaikan Nasir dalam rapat bersama Kejagung di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (13/6/2024).
“Banyak yang menjadi DPO, yang sudah inkrah lalu dia melarikan diri, tidak nampak batang hidungnya, sehingga perlu dicari. Tapi anggaran untuk mencari itu sangat minim,” kata Nasir.
Akibat keterbatasan anggaran tersebut, banyak buronan yang belum diketahui keberadaannya. Nasir menyebut aparat intelijen sering kali hanya bisa berharap agar para buronan menyerahkan diri secara sukarela.
Penjelasan Wakil Jaksa Agung
Wakil Jaksa Agung RI, Sunarta, mengungkap bahwa anggaran Kejagung untuk menangkap DPO hanya mencukupi untuk menangkap 50 orang per tahun. Dana intelijen yang diusulkan untuk tahun depan mencapai Rp 136.444.379.000.
“Memang anggaran untuk DPO itu satu tahun sekitar 50 untuk menangkapnya. 50 person yang harus ditangkap,” jelas Sunarta.
Namun, Kejagung memiliki Adhyaksa Monitoring Center (AMC) yang membantu menghemat anggaran dalam pencarian DPO. AMC memungkinkan penghematan, sehingga anggaran yang dialokasikan untuk satu orang bisa digunakan untuk menangkap dua atau tiga buronan.
Dengan adanya penghematan ini, Kejagung berharap bisa lebih efektif dalam menangkap buronan yang selama ini belum tertangkap.