Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Sidarto Danusubro menyoroti kondisi demokrasi di Indonesia. Dalam sambutannya pada acara ulang tahunnya yang ke-88 dan penerbitan ulang buku “Jalan Terjal Perubahan,” Sidarto mengkritik praktik demokrasi yang disebutnya sebagai “demokrasi NPWP” atau “nomor piro wani piro” (berapa yang berani bayar berapa).
Sidarto menyampaikan bahwa demokrasi saat ini sangat dipengaruhi oleh uang, di mana untuk menjadi kepala daerah atau anggota DPR, biaya politik yang diperlukan bisa mencapai ratusan miliar rupiah. Ia menilai bahwa politik uang berdampak buruk pada kualitas demokrasi di Indonesia.
“Karena saya bermimpi bahwa kepala daerah itu tidak perlu dipilih dengan biaya politik yang mahal, sehingga saat menjabat, mereka tidak perlu mengembalikan biaya tersebut dengan proyek-proyek,” ujarnya.
Sidarto juga memuji keberanian anggota DPR Rieke Pitaloka yang berani menyuarakan aspirasi rakyat tanpa terpengaruh oleh uang. Dia berharap sistem pemilu di Indonesia bisa diperbaiki dengan mengkombinasikan sistem proporsional terbuka dan tertutup, serta mengurangi pengaruh uang dalam pemilihan kepala daerah dan anggota DPR.
“Kepala daerah tidak perlu dipilih secara langsung. Cukup dipilih oleh tiga partai pemenang di daerah tersebut tanpa menggunakan uang,” kata Sidarto.